Bersegeralah Sebelum Ajal Menjemput
Satu hal yang patut untuk kita renungi adalah, apa persiapan kita untuk menghadapi Hari Akhirat? Apakah kita telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan berbagai amal yang dapat menyelamatkan kita dari huru-hara dan kedahsyatannya serta bencana demi bencana yang datang silih berganti? Pernahkah kita menghitung diri atas apa yang telah kita ucapkan dan kita perbuat?
Mari segera kita jawab sebelum datang waktunya bagi kita untuk mengucapkan, yang artinya: “…..Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” Kemudian kita dapati jawaban, “Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitan.” (QS: Al Mu’minuun: 99-100)
Sungguh para pendahulu Umat Islam adalah orang-orang yang paling banyak melakukan ibadah, ketaatan dan amal shalih. Namun ternyata mereka tidak begitu saja mengandalkan amal perbuatan mereka, bahkan mereka senan-tiasa merasa khawatir kalau-kalau apa yang mereka lakukan itu masih belum diterima oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala, sehingga terus merasa kurang dalam beramal dan tak henti-hentinya memohon ampunan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Coba kita perhatikan bagaimana Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Salam melakukan shalat hingga kedua kaki beliau bengkak, kemudian dalam sehari beliau beristighfar mohon ampunan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala lebih dari seratus kali. Apakah beliau pernah bermaksiat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sehingga harus mohon ampun sehari lebih dari seratus kali? Demi Alloh Subhanahu wa Ta’ala beliau adalah manusia yang paling taat. Itu semua beliau lakukan tak lain karena muhasa-bah yang tiada henti, muraqabah dan sikap tawadlu’ yang sempurna kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, sehingga beliau terus bertaubat dan beristighfar kepada-Nya. Beliau tidak semata-mata mengandalkan kedudukannya yang mulia dan tinggi sebagai nabi, bahkan beliau sendiri menyatakan, yang artinya: ”Seseorang masuk Surga bukan semata-mata karena amalnya.” Para shahabat bertanya, ”Tidak pula engkau wahai Rasululloh? Beliau menjawab, ”Tidak juga aku, kecuali jika Alloh mencurahkan kepadaku rahmat dan keutamaan-Nya.” Jika seorang penghulu Nabi saja keadaannya seperti itu, maka bagaimana lagi dengan kita?Bagaimana mungkin kita merasa bangga dengan amal kita, bahkan kita sering banyak bergurau, bermain-main, padahal kita tidak tahu ke mana tempat kembali kita kelak di akhirat?
Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tidaklah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (QS: Al Anbiyaa’: 47)
Dalam ayat lain Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, yang artinya: “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” (QS: Ali ‘Imran: 30)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala akan memutuskan perkara-perkara di antara hamba-hamba-Nya, menghitung keseluruhan amal mereka tak satu pun yang ketinggalan dan Dia tidak akan menzhalimi hamba-Nya. Bahkan Dia memaafkan, mengampuni dan menyayangi, namun Dia juga menyiksa siapa saja yang dikehendaki dengan kebijaksanaan dan keadilan-Nya.
Mari segera kita jawab sebelum datang waktunya bagi kita untuk mengucapkan, yang artinya: “…..Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” Kemudian kita dapati jawaban, “Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitan.” (QS: Al Mu’minuun: 99-100)
Sungguh para pendahulu Umat Islam adalah orang-orang yang paling banyak melakukan ibadah, ketaatan dan amal shalih. Namun ternyata mereka tidak begitu saja mengandalkan amal perbuatan mereka, bahkan mereka senan-tiasa merasa khawatir kalau-kalau apa yang mereka lakukan itu masih belum diterima oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala, sehingga terus merasa kurang dalam beramal dan tak henti-hentinya memohon ampunan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Coba kita perhatikan bagaimana Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Salam melakukan shalat hingga kedua kaki beliau bengkak, kemudian dalam sehari beliau beristighfar mohon ampunan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala lebih dari seratus kali. Apakah beliau pernah bermaksiat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala sehingga harus mohon ampun sehari lebih dari seratus kali? Demi Alloh Subhanahu wa Ta’ala beliau adalah manusia yang paling taat. Itu semua beliau lakukan tak lain karena muhasa-bah yang tiada henti, muraqabah dan sikap tawadlu’ yang sempurna kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, sehingga beliau terus bertaubat dan beristighfar kepada-Nya. Beliau tidak semata-mata mengandalkan kedudukannya yang mulia dan tinggi sebagai nabi, bahkan beliau sendiri menyatakan, yang artinya: ”Seseorang masuk Surga bukan semata-mata karena amalnya.” Para shahabat bertanya, ”Tidak pula engkau wahai Rasululloh? Beliau menjawab, ”Tidak juga aku, kecuali jika Alloh mencurahkan kepadaku rahmat dan keutamaan-Nya.” Jika seorang penghulu Nabi saja keadaannya seperti itu, maka bagaimana lagi dengan kita?Bagaimana mungkin kita merasa bangga dengan amal kita, bahkan kita sering banyak bergurau, bermain-main, padahal kita tidak tahu ke mana tempat kembali kita kelak di akhirat?
Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tidaklah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (QS: Al Anbiyaa’: 47)
Dalam ayat lain Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, yang artinya: “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.” (QS: Ali ‘Imran: 30)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala akan memutuskan perkara-perkara di antara hamba-hamba-Nya, menghitung keseluruhan amal mereka tak satu pun yang ketinggalan dan Dia tidak akan menzhalimi hamba-Nya. Bahkan Dia memaafkan, mengampuni dan menyayangi, namun Dia juga menyiksa siapa saja yang dikehendaki dengan kebijaksanaan dan keadilan-Nya.
Komentar
Posting Komentar
silhkan memberi kritik dan sarannya ya....
ini demi kemajuan blog kita bersama.