Pajak dalam Islam
Assalamu’alaikum.wr.wb
Jika melihat media, masalah yang masih hangat adalah kasus makelar kasus di tubuh Kepolisian dan kasus Gayus Tambunan, pegawai bagian pajak yang ‘berhasil’ mengkorupsi uang Negara yang berasal dari pajak. “Apa kata dunia akhirat?????”
Akan tetapi, saya tidak akan membahas kasus tersebut dalam pandangan Islam, walaupun dalam setiap permasalahan, Islam pasti mampu memberikan solusinya, yaitu dengan adanya ijtihad. Saya hanya akan menyampaikan sebuah coretan mengenai pajak dalam pandangan Islam. Tulisan ini disarikan dari sebuah kajian yang saya ikuti di kampus dengan pembicara Ust. Siddiq al-Jawi (Jumat, 9/4/2010; 16.00)…..ya walaupun telat….semoga tetap bermanfaat……berikut hasilnya:
Definisi Pajak
--------------
Pajak (tax, dhara`ib) dalam istilah umum (Barat) : “Pajak adalah harta yang diwajibkan penguasa atas rakyat untuk melayani rakyat dan mengatur berbagai urusan rakyat.” (Thalaal al-Hijazi, Adh-Dhara`ib fil Islam, www.4shared.com)
Sedangkan menurut Islam, pajak adalah: “Pajak adalah harta yang diwajibkan Allah atas kaum muslimin untuk membiayai hajat dan kepentingan yang diwajibkan atas mereka dalam kondisi tiadanya dana dalam Baitul Mal (Kas Negara).” (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 135)
Dari kedua definisi di atas dapat diambil beberapa kesamaan antara pajak menurut definisi umum (yang berlaku sekarang) dengan pajak dalam Islam, yaitu:
1. Pajak dipungut oleh negara/pemerintah dari rakyat
2. Pajak digunakan untuk kepentingan rakyat.
Sedangkan perbedaan di antara keduanya adalah:
1. Dalam Islam, rakyat yg menjadi wajib pajak hanya warga negara Muslim.
2. Pajak digunakan hanya untuk kepentingan yang spesifik, yaitu yang diwajibkan atas kaum muslimin.
3.Pajak dipungut hanya dalam kondisi khusus yaitu ketika tidak ada dana di baitul mal (APBN).
Tentu akan timbul pertanyaan, mengapa pajak/dharibah hanya dikenakan kepada kaum Muslim? Kebutuhan/pos apa saja yang menyebabkan muncul pajak ketika Kas Negara kosong?
Oleh karena itu, berikut dipaparkan terlebih dahulu posisi pajak dalam APBN menurut Islam.
Posisi Pajak dalam APBN menurut Islam
--------------------------------------
Dalam APBN Islam, pajak adalah sumber penerimaan negara yang tidak rutin (al-waridat ghairu al-daaimah).
Ada 3 (tiga) sumber penerimaan:
1. Penerimaan rutin (al-waridat al-da`imah)
2. penerimaan tidak rutin (al-waridat ghairu al-da`imah), yaitu pajak (dharibah)
3. Penerimaan lainnya.
(Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah)
Keterangan:
A. PENERIMAAN RUTIN (al-waridat al-da`imah), adalah penerimaan yang secara tetap akan ditarik oleh negara, baik ada kebutuhan maupun tidak. Meliputi enam macam :
1. Fai`
===> Fai` adalah harta yang dikuasai umat Islam dari harta kaum kafir yang tidak melalui peperangan, misalnya harta Bani Nadhir zaman Nabi SAW.
2. Ghanimah/Anfal
===>Ghanimah atau anfal adalah harta yang dikuasai umat Islam dari harta orang kafir melalui peperangan.
3. Jizyah
===> Jizyah adalah harta yang diambil oleh pemerintahan Islam atas warganegara non muslim baik Ahli Kitab maupun bukan karena ketundukan mereka terhadap pemerintahan Islam.
4. Kharaj
===> Kharaj disebut juga pajak tanah (land tax), yaitu harta yang diambil oleh pemerintahan Islam dari tanah kharajiyah, yaitu tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan (kharaj 'unwah) atau melalui perjanjian damai (kharaj shuluh).
5. Khumus Rikaz
===> Khumus Rikaz artinya seperlima dari harta rikaz. Rikaz adalah harta yang terpendam di dalam tanah, misalnya perhiasan emas dari raja-raja zaman dahulu (sebelum Islam).
6. Zakat
B. PENERIMAAN TAK RUTIN (al-waridat ghairu al-da`imah), adalah pajak (dharibah) yaitu penerimaan yang akan diambil oleh negara jika penerimaan rutin tidak memenuhi kebutuhan.
C. PENERIMAAN LAINNYA. Meliputi lima macam penerimaan:
1. Dana Hasil Usaha Kepemilikan Umum
2. Dana Hasil Usaha Kepemilikan Negara
3. Harta Waris yang Tiada Ahli Warisnya
4. Harta Orang Murtad
5. Usyur
==> Usyur adalah bea cukai, yaitu harta yang diambil oleh negara atas harta atau barang dagangan milik pedagang Ahlu Dzimmah atau Ahlu al-Harb yang melewati perbatasan negara Khilafah
Alasan Syar’i pemungutan Pajak
-------------------------------
Pemerintah tidak begitu saja diperbolehkan memungut pajak/dharibah terhadap rakyatnya, dalam hal ini kaum Muslimin. Karena bisa saja harta kaum muslimin (sebagai rakyat) tersebut boleh dan wajib diambil, makruh, atau bahkan haram diambil oleh pemerintah. Oleh karenanya, harus ada alasan syar’i yang melandasi pemungutan pajak, yaitu:
“Untuk memenuhi kewajiban yang dibebankan kepada dua pihak sekaligus, yaitu negara dan umat, jika di Baitul Mal tidak ada dana.”
Contoh kewajiban yang dibebankan kepada Negara dan umat:
1. Pembiayaan jihad
2. Pembangunan industri senjata,
3. Nafkah fakir dan miskin
4. Membayar gaji tentara, pegawai negeri, hakim, guru,
5. Pembiayaan kondisi darurat (gempa, banjir, topan, tsunami, invasi musuh, dll).
Jika hanya menjadi kewajiban negara, tapi tak menjadi kewajiban umat, tidak boleh memungut pajak. Contohnya seperti:
1. pembangunan fasilitas umum yang ketiadaannya tidak menimbulkan bahaya (dharar) bagi kaum muslimin, misal membuka/membangun jalan kedua, padahal jalan utama masih memungkinkan
2. membangun sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi baru, padahal sudah ada yang lainnya.
Wajib Pajak dalam Islam
------------------------
Ketika Kas Negara kosong untuk memenuhi pengeluaran yang wajib bagi Negara dan umat, maka pemerintah berhak memungut pajak terhadap warganya dengan syarat ia:
1. Muslim (berarti warga negara non muslim tidak wajib). Non muslim hanya wajib bayar jizyah dan/atau kharaj. (QS 9:29)
2. Mampu (berarti muslim yang miskin tidak wajib) (QS 2:219), memungut pajak dari yang miskin adalah kezaliman.
Besarnya pajak yang dipungut adalah jumlah yang mencukupi untuk melaksanakan kewajiban finansial bersama atas negara dan umat. Pajak tidak boleh diambil lebih banyak daripada kebutuhan tersebut. Mengambil lebih dari kebutuhan adalah kezaliman, karena hukumnya tidak wajib atas kaum muslimin.
sekian.... semoga bermanfaat
semoga Sistem EKIS segera terwujud di muka bumi ini...amiin....
DAFTAR PUSTAKA
* Al-Hijazi, Thalaal, Adh-Dhara`ib fi Al-Islam, www.4shared.com
* Al-Mas’ari, Muhammad Abdullah, Tha’ah Ulil Amri Hududuha wa Quyuduha, (London : Lajnah al-Difa’ ‘an al-Huquq al-Syar’iyyah), 2002
* An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, Cetakan VI, (Beirut : Darul Ummah), 2004
* Zallum, Abdul Qadum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, (Beirut : Darul Ummah), 2004
Jika melihat media, masalah yang masih hangat adalah kasus makelar kasus di tubuh Kepolisian dan kasus Gayus Tambunan, pegawai bagian pajak yang ‘berhasil’ mengkorupsi uang Negara yang berasal dari pajak. “Apa kata dunia akhirat?????”
Akan tetapi, saya tidak akan membahas kasus tersebut dalam pandangan Islam, walaupun dalam setiap permasalahan, Islam pasti mampu memberikan solusinya, yaitu dengan adanya ijtihad. Saya hanya akan menyampaikan sebuah coretan mengenai pajak dalam pandangan Islam. Tulisan ini disarikan dari sebuah kajian yang saya ikuti di kampus dengan pembicara Ust. Siddiq al-Jawi (Jumat, 9/4/2010; 16.00)…..ya walaupun telat….semoga tetap bermanfaat……berikut hasilnya:
Definisi Pajak
--------------
Pajak (tax, dhara`ib) dalam istilah umum (Barat) : “Pajak adalah harta yang diwajibkan penguasa atas rakyat untuk melayani rakyat dan mengatur berbagai urusan rakyat.” (Thalaal al-Hijazi, Adh-Dhara`ib fil Islam, www.4shared.com)
Sedangkan menurut Islam, pajak adalah: “Pajak adalah harta yang diwajibkan Allah atas kaum muslimin untuk membiayai hajat dan kepentingan yang diwajibkan atas mereka dalam kondisi tiadanya dana dalam Baitul Mal (Kas Negara).” (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 135)
Dari kedua definisi di atas dapat diambil beberapa kesamaan antara pajak menurut definisi umum (yang berlaku sekarang) dengan pajak dalam Islam, yaitu:
1. Pajak dipungut oleh negara/pemerintah dari rakyat
2. Pajak digunakan untuk kepentingan rakyat.
Sedangkan perbedaan di antara keduanya adalah:
1. Dalam Islam, rakyat yg menjadi wajib pajak hanya warga negara Muslim.
2. Pajak digunakan hanya untuk kepentingan yang spesifik, yaitu yang diwajibkan atas kaum muslimin.
3.Pajak dipungut hanya dalam kondisi khusus yaitu ketika tidak ada dana di baitul mal (APBN).
Tentu akan timbul pertanyaan, mengapa pajak/dharibah hanya dikenakan kepada kaum Muslim? Kebutuhan/pos apa saja yang menyebabkan muncul pajak ketika Kas Negara kosong?
Oleh karena itu, berikut dipaparkan terlebih dahulu posisi pajak dalam APBN menurut Islam.
Posisi Pajak dalam APBN menurut Islam
--------------------------------------
Dalam APBN Islam, pajak adalah sumber penerimaan negara yang tidak rutin (al-waridat ghairu al-daaimah).
Ada 3 (tiga) sumber penerimaan:
1. Penerimaan rutin (al-waridat al-da`imah)
2. penerimaan tidak rutin (al-waridat ghairu al-da`imah), yaitu pajak (dharibah)
3. Penerimaan lainnya.
(Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah)
Keterangan:
A. PENERIMAAN RUTIN (al-waridat al-da`imah), adalah penerimaan yang secara tetap akan ditarik oleh negara, baik ada kebutuhan maupun tidak. Meliputi enam macam :
1. Fai`
===> Fai` adalah harta yang dikuasai umat Islam dari harta kaum kafir yang tidak melalui peperangan, misalnya harta Bani Nadhir zaman Nabi SAW.
2. Ghanimah/Anfal
===>Ghanimah atau anfal adalah harta yang dikuasai umat Islam dari harta orang kafir melalui peperangan.
3. Jizyah
===> Jizyah adalah harta yang diambil oleh pemerintahan Islam atas warganegara non muslim baik Ahli Kitab maupun bukan karena ketundukan mereka terhadap pemerintahan Islam.
4. Kharaj
===> Kharaj disebut juga pajak tanah (land tax), yaitu harta yang diambil oleh pemerintahan Islam dari tanah kharajiyah, yaitu tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan (kharaj 'unwah) atau melalui perjanjian damai (kharaj shuluh).
5. Khumus Rikaz
===> Khumus Rikaz artinya seperlima dari harta rikaz. Rikaz adalah harta yang terpendam di dalam tanah, misalnya perhiasan emas dari raja-raja zaman dahulu (sebelum Islam).
6. Zakat
B. PENERIMAAN TAK RUTIN (al-waridat ghairu al-da`imah), adalah pajak (dharibah) yaitu penerimaan yang akan diambil oleh negara jika penerimaan rutin tidak memenuhi kebutuhan.
C. PENERIMAAN LAINNYA. Meliputi lima macam penerimaan:
1. Dana Hasil Usaha Kepemilikan Umum
2. Dana Hasil Usaha Kepemilikan Negara
3. Harta Waris yang Tiada Ahli Warisnya
4. Harta Orang Murtad
5. Usyur
==> Usyur adalah bea cukai, yaitu harta yang diambil oleh negara atas harta atau barang dagangan milik pedagang Ahlu Dzimmah atau Ahlu al-Harb yang melewati perbatasan negara Khilafah
Alasan Syar’i pemungutan Pajak
-------------------------------
Pemerintah tidak begitu saja diperbolehkan memungut pajak/dharibah terhadap rakyatnya, dalam hal ini kaum Muslimin. Karena bisa saja harta kaum muslimin (sebagai rakyat) tersebut boleh dan wajib diambil, makruh, atau bahkan haram diambil oleh pemerintah. Oleh karenanya, harus ada alasan syar’i yang melandasi pemungutan pajak, yaitu:
“Untuk memenuhi kewajiban yang dibebankan kepada dua pihak sekaligus, yaitu negara dan umat, jika di Baitul Mal tidak ada dana.”
Contoh kewajiban yang dibebankan kepada Negara dan umat:
1. Pembiayaan jihad
2. Pembangunan industri senjata,
3. Nafkah fakir dan miskin
4. Membayar gaji tentara, pegawai negeri, hakim, guru,
5. Pembiayaan kondisi darurat (gempa, banjir, topan, tsunami, invasi musuh, dll).
Jika hanya menjadi kewajiban negara, tapi tak menjadi kewajiban umat, tidak boleh memungut pajak. Contohnya seperti:
1. pembangunan fasilitas umum yang ketiadaannya tidak menimbulkan bahaya (dharar) bagi kaum muslimin, misal membuka/membangun jalan kedua, padahal jalan utama masih memungkinkan
2. membangun sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi baru, padahal sudah ada yang lainnya.
Wajib Pajak dalam Islam
------------------------
Ketika Kas Negara kosong untuk memenuhi pengeluaran yang wajib bagi Negara dan umat, maka pemerintah berhak memungut pajak terhadap warganya dengan syarat ia:
1. Muslim (berarti warga negara non muslim tidak wajib). Non muslim hanya wajib bayar jizyah dan/atau kharaj. (QS 9:29)
2. Mampu (berarti muslim yang miskin tidak wajib) (QS 2:219), memungut pajak dari yang miskin adalah kezaliman.
Besarnya pajak yang dipungut adalah jumlah yang mencukupi untuk melaksanakan kewajiban finansial bersama atas negara dan umat. Pajak tidak boleh diambil lebih banyak daripada kebutuhan tersebut. Mengambil lebih dari kebutuhan adalah kezaliman, karena hukumnya tidak wajib atas kaum muslimin.
sekian.... semoga bermanfaat
semoga Sistem EKIS segera terwujud di muka bumi ini...amiin....
DAFTAR PUSTAKA
* Al-Hijazi, Thalaal, Adh-Dhara`ib fi Al-Islam, www.4shared.com
* Al-Mas’ari, Muhammad Abdullah, Tha’ah Ulil Amri Hududuha wa Quyuduha, (London : Lajnah al-Difa’ ‘an al-Huquq al-Syar’iyyah), 2002
* An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, Cetakan VI, (Beirut : Darul Ummah), 2004
* Zallum, Abdul Qadum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, (Beirut : Darul Ummah), 2004
Komentar
Posting Komentar
silhkan memberi kritik dan sarannya ya....
ini demi kemajuan blog kita bersama.