Pengertian MUATABAH (verse 2)

Pengertian MUATABAH (verse 2)
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...
Alhamdulillah
Semoga ALLOH senantiasa melimpahkan Rahmat & Ridho-NYA kepada kita...
Ini adalah artikel lanjutan dari yang sebelumnya...


Menurut kalangan Ahli Tasawwuf taubat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1. Taubat yang dilakukan secara umum, yang dilakukan bila sseorang telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari aturan2 yang menyimpang dari aturan2 yang telah di gariskan oleh agama. Taubat ini barangkali bias disebut dengan taubatul ‘am (taubat secara umum).
Taubat yang pada tingkatan pertama ini mempunyai pengertian secara umum, yaitu lari dari maksiat kepada taat, semata-mata karena takut akan murka dan siksaan-NYA. Taubat ini adalah taubat orang2 yang beriman, sebagai mana yang di firmankan oleh Allah :




“…dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
( QS. An-Nur : 31 )

2 . Inabah, yaitu kembali dari yang baik menuju kepada yang lebih baik, demi memohon keridhoan Allah. Taubat pada tingkatan yang kedua ini senantiasa menimbulkan upaya untuk meningkatkan kualitas dan mutu ibadah seseorang menuju pada tingkat akhir, yaitu kesempurnaan. Taubat pada tingkat kedua ini pula yang didasari oleh perasaan bahwa ibadah yang selama ini dilakukan masih jauh dari kesempurnaan dan masih kurang, dan kekurangan ini dianggap sebagai satu kesalahan yang melandasi upaya pertaubatan.
Taubat pada tingakatan kedua inilah yang menjadi salah satu sifat para sufi yang mengajak dari hal satu menuju pada hal yang lain. Hal ini difirmankan oleh Allah :

• •
“ Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada Setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya)
(yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan Dia datang dengan hati yang bertaubat,
( QS. Qaf : 32-33 )

3. Taubatur Rasul, yaitu pertaubatan yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul. Taubat pada tingkatan ini tidak dimaksudkan untuk mengharap pahala apalagi karena takut akan siksa. Bukankah Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia ma’sum, yang dijaga dari dosa?

Untuk mengetahui pertaubatan pada tingkatan ini akan dikisahkan cerita pertaubatan dari Nabi Daud sebagai berikut :
Dalam penyesalannya, Nabi Daud pernah mencucurkan airmata selama empat puluh hari dengan bersimpuh sujud di hadapan Allah. Dikisahkan, karena cucuran airmatanya dalam sujud, tanah yang semula tandus jadi basah dan di tumbuhi padang rumput yang menutupi seluruh kepalanya. Kemudian diserukan kepada Daud, “ Hai, Daud, tidakkah engkau lapar agar diberi makan? Tidakkah engkau dahaga, agar diberi minum? Dan tidakkah engkau telanjang, agar diberi pakaian?”
Nabi Daud pun malah menangis. Bergoncanglah dunia. Pohon-pohon kayu di sekitarnya keringat dan terbakar oleh api ketakutannya. Kemudian Allah pun menurunkan ampun kepadanya. Daud pun lalu berdo’a : “ Ya Tuhanku, jadikanlah dosaku tertumpah pada telapak tanganku. Maka tertulislah dosanya itu pada telapak tangannya, hingga Daud tidak berani membuka untuk makan dan minum dan tak berani pula untuk melihatnya kecuali dengan menangis.
Diceritakan, bahwa sesudah Daud menangis sekian lamanya, dan setelah diterima permintaan ampunnya, tak ada perubahan sedikitpun dalam dirinya kecuali Daud selalu berduka cita. “Wahai Tuhanku! Tidakkah Engkau mengasihani terhadap tangisku?” seru Daud. Tuhan pun berfirman : “Wahai Daud! Engkau lupa akan dosamu meskipun teringat akan tangisanmu!”
“Tuhanku dan Junjunganku, bagaimana aku dapat melupakan dosaku, sedangkan dikala aku membaca Zabur, seketika itu air berhenti dari alirannya, debu pun berhenti dari tiupan angin, semua hewan pun berhenti dari gerak langkahnya dating berkumpul di dekatku. Wahai Tuhanku, kekuatan apakah gerangan yang memisahkan aku dengan Engkau?” kata Daud.
Tuhan pun berfirman, “Wahai Daud!, Dari suatu ketika karena baik hati dalam taat, dan pada saat lain perpisahan dalam maksiat. Daud! Ketahuilah, bahwa Adam adalah makhluk-Ku. Aku ciptakan dia dengan tangan-Ku. Aku tiupkan ke dalam tubuhnya roh-Ku. Aku tundukkan semua malaikat-Ku sujud kepadanya. Kututupi tubuhnya dengan pakaian kemuliaan-Ku. Kunobatkan dia dengan mahkota kebesaran-Ku. Ketika dia dalam keluh kesah merasa sepi dalam sendiri, Aku kawinkan dia dengan Hawa. Kuberikan dia tempat singgasana di surga. Tetapi ingatlah ketika dia mendurhakai –Ku, Aku usir mereka dari-Ku dalam keadaan telanjang dan hina. Wahai Daud! Dengarkanlah Aku dalam kebenaran perkataan-Ku. Kamu taat, Aku setia padamu. Kamu meminta Aku penuhi permintaanmu. Kamu berbuat durhaka kepada-Ku. Aku awasi kelakuanmu dan jika kamu ingin kembali pada-Ku, akan Aku terima kedatanganmu.”

Sekilas kisah cuplikan dari pertaubatan Nabi Daud di atas menunjukkan bahwa itulah upaya taubat yang sesungguhnya. Suatu taubat yang dinyatakan dalam rasa penyesalan yang sungguh-sungguh di kedalaman hati. Rasa penyesalan ini tumbuh dan timbul dengan sendirinya sebagai reaksi dari perasaan yang bersalah dan berdosa atas satu perbuatan yang telah dan terlanjur dilakukan. Dan rasa penyesalan ini sesungguhnya tidak bisa dimanipulasi dan dibohongi karena penyesalan selalu bersemayam dalam hati. Lidah mungkin bias berbohong, tapi tidak demikian halnya dengan hati. Rasa penyesalan yang demikian ini, yang muncul dan tumbuh dari kedalaman lubuk hati, maka senantiasa diiringi oleh luluhan dan linangan airmata sebagai tangisan penyesalan yang sejati. Tangis dan airmata taubat inilah yang dinilai tinggi oleh kalangan ahli sufi. Dan bukankah Allah sendiri yang berfirman :


“ Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.”
( QS. Ar-Taubah : 82 )


7 Martabat M
Terbit Terang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jaringan Penyokong

Anatomi Daun

Pengertian MUATABAH